Tak hanya di Indonesia, di Malaysia, pelajaran Matematika
juga sangat ditakuti. Pelajaran berhitung itu sudah berkali-kali dicari
metodenya, hasilnya tetap menjadi momok bagi siswa.
“Di Malaysia, dalam menerapkan ilmu matematika mengacu pada
Amerika dan Australia. Namun tidak sepenuhnya cocok diterapkan. Sebagai contoh,
pengajaran matematika diharuskan menggunakan bahasa Inggris. Namun tidak
maksimal. Nilai siswa justru malah turun. Tahun ini keputusan tersebut dicabut,
pengajaran dikembalikan memakai bahasa Melayu,” terang Guru Besar Bidang
Matematika Universitas Sultan Idris Malaysia, Prof Madya Noor Syah Saad, ketika
menyampaikan makalahnya di Seminar Matematika dan Penerapannya di UMM Dome,
Sabtu (30/1).
Problem terbesar mengapa sulit mengangkat nilai matematika,
diakui Saad, karena kurang profesionalnya guru. Di Malaysia, profesionalisme
guru ditentukan oleh 17 poin, tetapi sangat jarang yang bisa meujudkannya. Di
antara standar profesionalisme itu
antara lain pengetahuan dan kefahaman, dan kemahiran pengajaran dan
pembelajaran.
Ungkapan Saad itu menyusul kegelisahan pembicara dari UMM,
Dr. Dwi Priyo Utomo. Dosen Matematika FKIP UMM ini berpendapat, sulitnya
memahamkan matematika pada siswa banyak dikarenakan pengetahuan konseptual dan
pengetahuan prosedural, terkadang tidak berjalan beriringan. Padahal kemampuan
tersebut menjadi dasar seorang siswa berhasil memecahkan masalah atau tidak.
“Kenyataannya, banyak siswa melakukan sesuai prosedur, namun tidak memiliki
konsep yang baik, atau sebaliknya,” kata mantan Dekan FKIP UMM ini.
Padahal, sebagaimana dilansir rektor UMM, Dr. Muhadjir
Effendy, MAP ketika membuka acara, matematika sebenarnya adalah human
activity. “Matematika adalah kegiatan
manusia sehari-hari, namun terkadang banyak orang tidak menyadarinya,” kata
Muhadjir.
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika, yang
diselenggarakan Program Studi Matematika FKIP UMM itu sendiri salah satunya
hendak membongkar persoalan terkait dengan citra pelajaran ini sebagai momok
siswa itu. Itulah sebabnya, berbagai persoalan mendasar dikupas.
Salah satu metode yang mengemuka adalah menjadikan
matematika sebagai bagian dari nalar yang bsia diurai secara esai, bukan
sekedar angka-angka. “Untuk mendorong pemahaman, siswa harus terampil
mengkoneksikan keduanya (angka dan cerita).
Model penyelesaian soal cerita atau essai dapat merangsangnya. Namun
saat ini, model tersebut jarang digunakan, bahkan dikurangi porsinya,”ungkap
Dwi. Banyak hal yang menjadi penyebabnya. Siswa terlalu sering diberikan
pembelajaran secara instan, satu ditambah satu sama dengan dua. Siswa jarang
telaten menghadapi soal cerita, terlalu rumit, serta butuh kejelian dan waktu
lama.
Sementara itu, guru juga kesulitan membuat soal cerita,
selain membuatnya susah, mengkoreksinya rumit. Guru kurang telaten membiasakan
berimajinasi dan tidak terbiasa dengan translasi kata-kata.“Penerapan persoalam
translasi model simbol kata-kata, seperti soal cerita, seharusnya diajarkan
sejak dini, dan ditambah frekuensi pemberiannya. Karena pemecahan masalah
adalah puncak dari soal cerita,”pungkas Dwi.
Referensi : UMM News