Laman

Rabu, 08 Oktober 2014

MATEMATIKA JUGA JADI MOMOK SISWA DI MALAYSIA


Tak hanya di Indonesia, di Malaysia, pelajaran Matematika juga sangat ditakuti. Pelajaran berhitung itu sudah berkali-kali dicari metodenya, hasilnya tetap menjadi momok bagi siswa.

“Di Malaysia, dalam menerapkan ilmu matematika mengacu pada Amerika dan Australia. Namun tidak sepenuhnya cocok diterapkan. Sebagai contoh, pengajaran matematika diharuskan menggunakan bahasa Inggris. Namun tidak maksimal. Nilai siswa justru malah turun. Tahun ini keputusan tersebut dicabut, pengajaran dikembalikan memakai bahasa Melayu,” terang Guru Besar Bidang Matematika Universitas Sultan Idris Malaysia, Prof Madya Noor Syah Saad, ketika menyampaikan makalahnya di Seminar Matematika dan Penerapannya di UMM Dome, Sabtu (30/1).

Problem terbesar mengapa sulit mengangkat nilai matematika, diakui Saad, karena kurang profesionalnya guru. Di Malaysia, profesionalisme guru ditentukan oleh 17 poin, tetapi sangat jarang yang bisa meujudkannya. Di antara standar  profesionalisme itu antara lain pengetahuan dan kefahaman, dan kemahiran pengajaran dan pembelajaran.

Ungkapan Saad itu menyusul kegelisahan pembicara dari UMM, Dr. Dwi Priyo Utomo. Dosen Matematika FKIP UMM ini berpendapat, sulitnya memahamkan matematika pada siswa banyak dikarenakan pengetahuan konseptual dan pengetahuan prosedural, terkadang tidak berjalan beriringan. Padahal kemampuan tersebut menjadi dasar seorang siswa berhasil memecahkan masalah atau tidak. “Kenyataannya, banyak siswa melakukan sesuai prosedur, namun tidak memiliki konsep yang baik, atau sebaliknya,” kata mantan Dekan FKIP UMM ini.

Padahal, sebagaimana dilansir rektor UMM, Dr. Muhadjir Effendy, MAP ketika membuka acara, matematika sebenarnya adalah human activity.  “Matematika adalah kegiatan manusia sehari-hari, namun terkadang banyak orang tidak menyadarinya,” kata Muhadjir.

Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika, yang diselenggarakan Program Studi Matematika FKIP UMM itu sendiri salah satunya hendak membongkar persoalan terkait dengan citra pelajaran ini sebagai momok siswa itu. Itulah sebabnya, berbagai persoalan mendasar dikupas.

Salah satu metode yang mengemuka adalah menjadikan matematika sebagai bagian dari nalar yang bsia diurai secara esai, bukan sekedar angka-angka. “Untuk mendorong pemahaman, siswa harus terampil mengkoneksikan keduanya (angka dan cerita).  Model penyelesaian soal cerita atau essai dapat merangsangnya. Namun saat ini, model tersebut jarang digunakan, bahkan dikurangi porsinya,”ungkap Dwi. Banyak hal yang menjadi penyebabnya. Siswa terlalu sering diberikan pembelajaran secara instan, satu ditambah satu sama dengan dua. Siswa jarang telaten menghadapi soal cerita, terlalu rumit, serta butuh kejelian dan waktu lama.


Sementara itu, guru juga kesulitan membuat soal cerita, selain membuatnya susah, mengkoreksinya rumit. Guru kurang telaten membiasakan berimajinasi dan tidak terbiasa dengan translasi kata-kata.“Penerapan persoalam translasi model simbol kata-kata, seperti soal cerita, seharusnya diajarkan sejak dini, dan ditambah frekuensi pemberiannya. Karena pemecahan masalah adalah puncak dari soal cerita,”pungkas Dwi. 

Referensi : UMM News

1 komentar: